Keberadaan bahasa Jawa di Indonesia, ada catatan penting dalam hal kuantitas dan kualitas yang perlu dicermati. Hal kuantitas, bahasa Jawa sebagai bahasa urutan kedua yang paling banyak digunakan di Indonesia. Suku (etnik) Jawa yang memiliki banyak sub etnik menyebabkan bahasa Jawa memiliki banyak dialek. Secara geografis suku Jawa tersear hampir di seluruh wilayah Indonesia, menyebabkan bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa yang lebih umum dikenal oleh masyarakat, selain bahasa Indonesia. Hal kualitas, sikap positif masyarakat Jawa terhadap bahasa Jawa cukup memprihatinkan. Rendahnya sikap positif ini ditandai dengan dua hal yang saling berkorelasi yakni, antara semakin rendah kemampuan penggunaan dengan keinginan untuk mengajarkannya kepada generasi berikutnya (Sugiyono, 2011:141—142).
Rendahnya sikap positif orang Jawa terhadap bahasanya tentu memiliki alasan. Tidak mengerti dan tidak memahami unsur bahasa Jawa yang dianggap terlalu banyak dan rumit adalah alasan utama, di samping alasan pendukung, bahasa Jawa (dianggap) tidak memiliki prestise dan tidak memiliki nilai jual. Banyak tumbuh anggapan bahwa orang yang berbahasa Jawa dengan unggah-ungguh adalah arkais “kuno” dan feodalis “terjajah”. Tidak ada kantor/instansi yang memasukkan “memiliki kemampuan (dapat) berbahasa (daerah) Jawa” sebagai salah satu syarat rekrutmen. Banyak tradisi/ritual Jawa yang mestinya sebagai sarana inkulturasi “penanaman” dan pewarisan (jati diri dan kearifan) budaya Jawa yang sudah tidak dipentingkan, bahkan ditinggalkan oleh orang Jawa. Tidak jarang orang tua kebingungan membantu menjawab pekerjaan rumah berupa soal pertanyaan mata pelajaran Bahasa Jawa anak-anaknya.
Di jaman millennial ini, terjadi kesenjangan normatif antara balungan lawas “generasi terdahulu” dengan balungan anyar “generasi kekinian”. Generasi terdahulu merasa memiliki daya juang tinggi, lebih taat menjaga tradisi, dan memiliki kesabaran tinggi (ditandai dengan kesadaran bahwa segalanya butuh waktu dan proses). Generasi kekinian dianggap memiliki daya juang rendah, meremehkan (kurang bahkan tidak taat) terhadap tradisi, dan grusa-grusu “tidak sabar”, ditandai dengan menyukai hal yang instant “serba cepat” dan sikap dhemen nyar “lebih menyukai hal baru”. Hal ini menunjukkan bahwa secara kultural terdapat dua kelompok yakni kelompok tua yang idealis-substansialis dan kelompok muda yang pragmatis-instrumentalis (Adipitoyo, 2006; Budinuryanta, 2011).
Bahasa merupakan produk kebudayaan sekaligus bagian dari pembinaan karakter bangsa. Bahasa berkorelasi langsung dengan karakter, karena dari cara berbahasa, seseorang akan terlihat karakternya. Bahkan, integritas suatu bangsa ditentukan bagaimana masyarakatnya menggunakan bahasanya. Apabila dilihat dari keseluruhan tradisi budaya Jawa yang ada, orang Jawa sekarang sudah banyak kehilangan kemampuan memahami tradisi lisan maupun tradisi tulisnya. Mereka tidak lagi mampu ndongeng, nembang, bertindak tutur dengan “unggah-ungguh basa,” apalagi mampu mengenali aksara Jawa. Fenomena pengikisan tradisi Budaya Jawa ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut kalau tidak ingin kehilangan budaya Jawa yang “adi luhung.”
Kesadaran pemerintah pusat (nasional) terhadap pemberdayaan bahasa daerah melalui pembelajaran, termasuk bahasa Jawa, sedang digencarkan. Bahasa Jawa salah satu dari 38 bahasa daerah (catatan, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah) yang akan menjadi objek revitalisasi bahasa Daerah oleh Kemendikbudristek melalui program Merdeka Belajar Episode ke17. Prinsip revitalisasi: 1) dinamis, berorientasi pada pengembangan, dan bukan sekadar memproteksi bahasa, 2) adaptif dengan situasi lingkungan sekolah dan masyarakat tuturnya, 3) regenerasi dengan fokus pada penutur muda di tingkat sekolah dasar dan menengah, dan 4) merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya; diharapkan mampu menjadi jamu bagi kebangkitan bahasa Jawa.
Penetapaan model revitalisasi oleh Kemendikbudristek didasarkan pada kondisi dan karakter bahasa daerah. Bahasa Jawa, Sunda, dan Bali yang memilki karakteristik 1) daya hidup bahasanya masih aman, 2) Jumlah penutur masih banyak, dan 3) masih digunakan sebagai bahasa yang
dominan di dalam masyarakat tuturnya direkomendasikan menggunakan Revitalisasi model A dalam bentuk 1) Pewarisan dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah (berbasis sekolah) dan 2) Pembelajaran dilakukan secara integratif, kontekstual, dan adaptif, baik
melalui muatan lokal maupun ekstrakurikuler. Program Merdeka Belajar episode ke-17: Revitalisasi Bahasa Daerah ini hendaknya menjadi peluang Pembelajaran Bahasa Jawa Kini (PBJK) dengan segala aspeknya menjadi lebih baik.
Pembelajaran Bahasa Jawa, juga beberapa Bahasa Daerah lainnya di Indonesia, yang selama ini dilaksanakan dianggap kurang berhasil. Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dengan memposting artikel Edy Suryanto “Model Pembelajaran dan Pelestarian Bahasa Daerah” pada 22
Januari 2022 pukul 13:08 WIB dengan pernyataan berikut:
“Penulis yakin bahwa di bahasa Sunda, Bali, Madura, dan bahasa daerah lain juga sedang diupayakan untuk diajarkan. Namun, seperti terjadi pada bahasa Jawa, model pembelajaran itu mungkin juga cenderung dalam bentuk ceramah sehingga membosankan siswa.”
Hal ini dapat dipahami sebagai suatu isyarat bahwa pendekatan, metode, dan atau teknik pembelajaran Bahasa Daerah statis dan tradisional. Selain pendekatan pembelajaran, hal yang perlu juga mendapat perhatian adalah fokus pembelajaran Bahasa Jawa. Pranowo (2016), menyatakan bahwa materi yang terlalu banyak dan tidak terjadi penjenjangan sesuai dengan perkembangan pikiran anak mejadi salah satu penyebab kegagalan pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah. Implikasi lanjut adalah kurang pekanya pembelajaran terhadap sosio kultural pebelajar yang multikultural dan generasi millennial terabaikan.
Pendekatan PBJK hendaknya menyelaraskan pada Kurikulum Merdeka Tahun 2022. Kurikulum Merdeka dapat dipahami sebagai kurikulum berbasis hasil tanpa mengabaikan kompetensi, maka pembelajaran Bahasa Jawa tidak dimaksudkan untuk menjadikan peserta didik menjadi linguis “ahli bahasa” tetapi agar mampu berkomunikasi (dilandasi sikap kompromis dan adaptif) menggunakan bahasa Jawa sesuai konteks. Dengan demikian, unsur-unsur linguistik (seperti leksikon dan struktur kalimat) dan komponen tutur (lih. Hymes, 1989), tidak perlu diajarkan sebagai teori tetapi diintegrasikan dalam setiap berbahasa Jawa. Pencapaian kompetensi komunikatif ditandai oleh terjadinya proses komunikasi lancar dengan kesepahaman ide antarpetutur melalui berbagai media dalam situasi sosial yang nyata.
Tiga pendekatan yang direkomendasikan untuk Pembelajaran Bahasa Jawa Kini (PBJK) adalah 1) pendekatan Sapta Arga, diadaptasi dari pendekatan komunikatif (Communicative Learning), 2) pendekatan Sapa Bisa Guyub Nemokake Jati Dhiri, diadaptasi dari pendekatan berbasis Kontekstual (CTL: Contextual Teach Learning), dan 3) pendekatan Waskitha, diadaptasi dari pendekatan Sosial (Social Learning).
Pendekatan Sapta Arga
Pendekatan Sapta Arga didasarkan pada pemahaman secara filosofis dan konseptual. Pemahaman filosofis dimaksud adalah eksistensi Sapta Arga dari masa ke masa menjadi tempat dan pusat spiritual menempa kekuatan fisik dan mental sehingga lahir para pemimpin besar wangsa Barata. Secara konseptual, pendekatan Sapta Arga ini diadopsi dari pendekatan komunikatif yang lebih mengedepankan bahasa sebagai fungsi komunikatif. Pendekatan pembelajaran komunikatif memiliki 7 sintaks yang memungkinkan tercapainya tujuan pembelajaran Bahasa Jawa sebagai berikut:
- Peserta didik menjadi penutur aktif bahasa Jawa dan mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui pemilihan materi dan media yang disukai (diminati).
- Peserta didik bangga menggunakan bahasa Jawa guna menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah (Jawa) dengan tetap menjaga sikap pengutamaan dan penghargaan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa persatuan NKRI.
- Menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi peserta didik sebagai penutur bahasa Jawa untuk mempertahankan bahasanya.
- Mendorong peserta didik untuk memublikasikan hasil karyanya menggunakan media sosial agar menemukan fungsi dan ranah baru dari bahasa dan sastra daerah (Jawa).
- Mengembangkan kepercayaan diri peserta didik untuk berekspresi sebagai individu yang njawa, mandiri, bergotong royong, dan bertanggung jawab.
- Meningkatkan kepedulian peserta didik terhadap budaya lokal dan lingkungan sekitar agar ikut berkontribusi dan berkompetisi secara positif terhadap kegiatan dan atau festival yang gayut dengan pengembangan dan pelestarian bahasa, sastra, dan budaya daerah (Jawa).
- Jenis teks yang disajikan sebagai konten materi pelajaran
Pertimbangan pemilihan bahan ajar (teks) menjadi hal yang harus dipentingkan agar fungsional dan efektif. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa pembelajaran bahasa berbasis teks. Fees (1998:28) merinci kegiatan pembelajaran berbasis teks dalam siklus yang terdiri dari 5 tahap, yakni 1) membangun konteks, 2) memberikan model dan dekonstruksi teks, 3) membentuk teks bersama, 4) membuat teks secara mandiri, dan 5) menautkan teks. Siklus 4 memproduksi teks melalui proses scaffolding “pemberian bantuan” (Bandingkan dengan model utama yang digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan sebutan pedagogi genre dan pendekatan berbasis teks pada pembelajaran Bahasa Inggris dengan sebutan genre-based approach).
Teks tidak dapat dipisahkan dengan konteks. Halliday (1992:7,66) menyatakan bahwa meskipun konteks mendahului teks, namun teks yang menyertai teks adalah konteks. Kondisi intertektualitas “saling memengaruhi” ini menyebabkan setiap unsur dalam wacana, meskipun hanya berupa satu frasa, satu kalimat, satu bab, atau satu buku memiliki nilai 1) sebagai teks, yang mandiri, dan 2) sebagai konteks, bagi teks lain yang berikutnya. Sependapat dengan Dijk (dalam Tischer, 2009:43) yang memandang teks dari sudut produksi ujaran, menyatakan bahwa wacana sebagai teks dan konteks bersama-sama; maka teks dapat dipahami sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua bentuk ekspresi komunikasi, ucapan, gambar, musik, efek suara, citra dan sejenisnya.
Konteks adalah elemen yang menyertai teks. Pada satu kesempatan satu teks dapat menjadi konteks bagi teks lain. Halliday (1976) memilah konteks dalam register “konteks situasi” dan genre “konteks budaya”. Pemahaman lanjut terhadap konteks budaya adalah menempatkan teks sebagai konstruk sosial yang memiliki struktur dan dapat didekonstruksi, maka karya (teks) jaman sekarang harus dipahami bertemali dengan karya lama.
Pemanfaatan media sosial mengubah konstruksi komunikatif. Kecanggihan fitur teknologi komunikasi mengakibatkan sebagian besar teks yang ditemui dan dibuat oleh anak muda bersifat multimodal. Kelebihan teks multimodal digital di antaranya video, tayangan slide, dan halaman web sangat memungkinkan makna komunikasi ditransfer melalui gabungan berbagai mode; teks tertulis, audio, gambar diam, gambar bergerak, gerakan, penggunaan ruang, dsb; dalam bentuk teater, bercerita dan menari. Hal inilah yang menyebabkan muncul keterampilan berbahasa yang kelima, yakni viewing skill “memirsa” (Pidato Menteri Pendidikan pada peringatan Hari Guru Nasional tahun 2021). - Cara guru memilah, memilih, dan menghasilkan teks
Perkembangan teknologi hendaknya dimanfaatkan secara positif bagi PBJK agar dapat menopang perkembangan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Hal ini didasarkan pada kesadaran akan kenyataan bahwa, 1) media sosial sangat berpengaruh terhadap kemauan, keberanian, dan kecepatan seseorang mengambil keputusan untuk bertindak dan bersikap. Kebaikan, keberhasilan, dan kesuksesan tidak lagi ditentukan oleh ketokohan seseorang, tetapi oleh banyaknya jumlah like, follower, dan viewers di akun media sosialnya, 2) teknologi menyebabkan transfer informasi lebih cepat dan luas. Slogan “dunia di ujung jari” berakibat semakin banyak dan beragamnya sumber dan sarana belajar. Penyebaran karya seseorang ke seluruh dunia dapat dilakukan dengan cepat, 3) pengakuan kompetensi seseorang diukur dari kedalaman dan bukan keluasan pengetahuannya. Orang yang dijuluki ngabehi “serba bisa, tahu sedikit tentang banyak hal” kalah populer dengan yang ngijeni “tahu banyak tentang sedikit (satu) hal”.
Guru dapat menentukan jenis dan konten teks sesuai kondisi kelas. Pemilahan teks dalam familiar dan unfamiliar bagi pebelajar dapat diformulasikan dari bentuk 1) Bahan Ajar Tekstual, yang isinya mencerminkan penjenjangan dan pengurutan pelatihan-pelatihan bahasa, mirip pada bahan ajar struktural. Alternatif bentuk di antaranya isyarat visual, isyarat rekaman, gambar dan potongan-potongan kalimat untuk memulai percakapan dalam bermain peran (role plays) dan melaksanakan aktivitas lain; 2) Bahan Ajar Berbasis Tugas, berbagai macam permainan bahasa, main peran (role plays), stimulasi dan aktivitas. Semua ini secara khas berbentuk modul latihan, kartu isyarat, kartu-kartu aktivitas, materi latihan komunikasi-pasangan, dan buku latihan interaksi-siswa; 3) Realita, berupa bahan-bahan otentik “dari kehidupan” yang dibawa ke dalam ruang kelas. Bahan ini termasuk realita yang berdasarkan bahasa, seperti tanda-tanda, majalah, iklan, dan surat kabar; atau sumber- sumber visual dan grafis, yang dapat dijadikan dasar untuk aktivitas komunikasi, seperti peta, gambar, simbol, grafik, dan bagan. Berbagai objek lain masih dapat digunakan untuk mendukung pelatihan-pelatihan komunikatif. - Fokus pembelajaran pada peserta didik dan pembentukan sikap positif terhadap bahasa Jawa.
Kondisi psikologis peserta didik sekarang berbeda dengan murid jaman dahulu. Peserta didik sekarang sekarang sebagai generasi millennial memiliki ciri 1) menginginkan dan menuntut lebih banyak didengar keluhannya, akibat dari justice “penghakiman” sepihak, sebagai generasi lemah dan memiliki daya juang rendah, oleh pihak generasi pendahulunya; 2) menginginkan diperlakukan sama dan sejajar, akibat dari kesulitan menempatkan dirinya dalam strata sosial. Kesulitan yang dialami ini boleh disebut sebagai kegagalan belajar dan mengaplikasikan unggah-ungguh bahasa Jawa, yang dianggap rumit dan feodalistik; serta 3) menganggap orang tua (tokoh) bukan dwijatama “guru kehidupan” satu-satunya, akibat dari banyaknya sarana dan sumber belajar di internet yang lebih mereka percaya.
Kondisi ini harus disikapi agar pembelajaran bahasa Jawa Kini (PBJK) berkontribusi positif terhadap pembentukan karakter generasi muda Jawa. Pembelajaran sebagai proses diharapkan menimbulkan kesan positif peserta didik. sehingga siap berkompetisi dan dapat menjadi warga dunia yang manjila tanpa sulaya, tatag, tangguh, dan tanggon, dengan bekal kompetensi local acting with global thinking “bertindak lokal tetapi berpikir global.” Tuntutan jaman, pembelajaran berpusat pada peserta didik, dengan analogi guru (orang tua) dan peserta didik (anak), tiba saatnya Saloka Kebo nyusu gudel terbukti. Tentu bukan Kebo wangkot lan kolot “bebal dan tertutup” serta Gudel nruthus lan ndhugal “nakal dan liar” yang dikehendaki.
Guru Bahasa Jawa yang berkompetensi (kepribadian, sosial, profesional, dan pedagogik) mumpuni “cakap” adalah guru yang memenuhi unsur bleger, seger, dan pinter. Guru yang seperti ini memiliki keluwesan sikap dalam mengelola pembelajaran, sehingga terjadi interaksi asyik antara guru dengan peserta didik. Keluwesan sikap ini didasarkan pada kesadaran ngemong bocah, ngemong kahanan, dan ngemong kabudayan (Supono, 2006). Kemampuan guru menciptakan konteks budaya dan bahasa artifisial dalam pembelajaran semirip dan sedekat mungkin dengan konteks sosial nyata berpotensi memotivasi peserta didik bekerja keras secara emosional, personal, dan intelektual mempelajari bahasa Jawa sebagai upaya mengidentifikasi diri sedekat mungkin dengan budaya Jawa.
Harapan jauh PBJK menghasilkan sikap positif generasi muda Jawa tidak hanya ditandai dengan mau dan mampu berbahasa Jawa. Hal ini didasarkan pada pernyataan Mathiot (dalam Chaer, 1995) bahwa sikap positif terhadap bahasa tidak hanya ditandai dengan memakai sebagai alat komunikasi, tetapi harus ditunjukkan dengan 1) kesetiaan bahasa (language loyality) yang dapat mencegah pengaruh bahasa lain, 2) kebanggaan bahasa (language pride) yang selalu berupaya melestarikan dan mengembangkan bahasanya sebagai identitas etnik, dan 3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang selalu berupaya mematuhi norma bahasa dalam penggunaannya. Singkatnya, PBJK diarahkan pada tumbuhnya keinginan siswa untuk menghasilkan karya kreatif berkualitas untuk peningkatan hidup dan kehidupan.
a. Pengertian kompetensi berbahasa diuraikan sebagai berikut:

b. Fase D, umumnya untuk Kelas VII, VIII, dan IX (SMP/MTs/Program Paket B)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar